Kamis, 03 September 2015

Zahir, Sang Seno dari Kota


Malam itu begitu sunyi tatkala zahir termangu dan menyendiri dipojok kamar kami. Meskipun satu kamar dan kamilah yang paling akrab dengan Zahir dibanding santri yang lain, kami tidak berani mendekatinya melihat kondisinya yang begitu mengenaskan. Dan kamipu terpaksa membiarkan ia menyendiri merenung bertemankan almari dan tumpukan kitab serta pakaian yang menempel didinding-dinding kamar kami yang menjadi saksi biksu perenungannya.
Malam itu juga bertepatan hari ke-2 zahir berperilaku seperti ini. Sampai saat ini kami belum tahu menahu seseuatu apa yang sedang menimpanya. Dan saat ini pula kami tidak habis pikir, zahir yang datang jauh-jauh meninggalkan hingar bingar kota pekan baru, zahir yang dikenal santri yang riang dan aktif, zahir yang dikenal pemecah keheningan kamar kami, kamar ulya, bahkan zahir yang selama ini menjadi aktor pemecah keheningan, pencair keadaan yang genting dipondok kami sejak dua hari ini jatuh tersungkur menjadi zahir yang suka menyendiri dan suka diam tanpa kata.
Keesokan harinya masih dengan tatapan matanya yang kosong, fikiran yang mengiyang-iyang, tubuh yang tidak karuan. Arifin teman saya satu kamar mencoba mendekatinya, dengan sedikit ragu ia bertanya “kamu sudah makan?” dalam bahasa Indonesia arifin menyapa karena zahir adalah santri yang masih asing dengan bahasa jawa. “ayuk makan, nanti saya yang bayarin dech!” timpalnya, “jarang-jarang lho saya nawarin makan gratis pada seseorang”, dengan senyum yang ditujukan pada zahir ia berkata dengan nada menghibur “ya sudah kalo ndak mau, saya makan dulu” iapun pergi dengan mengunci lemarinya seraya memasukan dompet disakunya.
Kami yang menunggu respon dan kabar tentang zahir diluar pondokpun langsung menyambar Arifin. “fin” begitu kang baidlowi akrab menyapanya “yaopo keadaane adimu zahir?” .karena dianggap nyelneh oleh kang ahmad, kang Ahmadpun menasakh pertanyaan kang Baidlowi “pye mau zahir? Iseh kyo ndek wingi tah?” sambil sedikit menempeleng kepala kang Baidlowi, perkataan kang Ahmad berakhir. Sambil menoleh kekanan dan kiri kang Arifinpun menjawabnya dengn jeda 4 detik “ngene ae, ayok nuk warunge mbok Darsih ae, omongke neng kono ben enak karo leyeh-leyeh” sentak ucapan inipun memotong tatapan penasaran kami terhadap kabar Zahir yang aneh akhir-akhir ini. Dan tanpa berdebat kamipun berbondong-bondong menuju warung mbok Darsih yang ada didepan kompleks pondok kami.
Sebelumnya, Zahir adalah santri baru yang dikenal nyentrik dengan aura kekota-kotaannya. Omongannya, sikapnya, gaulnya, bahkan alat-alat elektronik yang selalu menempel padanya seperti hp, gedged, ipad, dan hal ini berbeda dengan santri yang lain yang hanya menggunakan hp sekedarnya saja. Dan dengan gaya yang seperti ini, ada sebagian santri yang menerima dengan lapang dada meskipun terkadang mengelus dada terhadap sikapnya itu, seperti kami. Namun adapula santri yang begitu membencinya karena sikapnya itu.
Selain bersikap blak-blakan, begitu terbuka terhadap siapapun, bercandanya yang super, dan sok akrab dengan para santri, ia juga memberlakukan sikapnya itu kepada kyai. Dan ini yang membuat semua santri ketar-ketir saat melihatnya.
Suatu ketika kyai sedang wudlu ditempat wudlu umum sebelum shalat berjamaah, hal yang terkadang kyai lakukan, karena biasanya kyai mengambil air wudlu di ndalem dan ketika keluar dari ndalem kyai langsung menuju tempat pengimaman untuk mengimami shalat berjamaah. Pada saat kyai wudlu di tempat wudlu umum seperti ini, biasanya para santri yang hendak mengambil air wudlu secara otomatis menyingkir dan menunggunya dari kejauhan, sehingga tampak hanya kyai seorang yang berada di tempat wudlu umum tersebut. Hal ini terjadi secara otomatis karena memang budaya dipondok kami yang begitu hormatnya kepada kyai sehingga ada rasa ewuh, segan yang mendalam apabila kami membarengi beliau di tempat wudlu.
Begitu kyai fokus dalam wudlunya, maka datanglah Zahir, anak kota yang belum begitu kenal budaya pondok. Kami yang meliihat kejadian itu sentak tegang dan terguncang hingga darahpun naik dan tubuh seakan berada didalam lemari es. “apa yang akan dilakukan zahir kali ini” begitu gumam kami. Dan betapa malu dan terkejuitnya kami pada saat itu, zahir yang datang dari belakang mencoba mengkagetkan kyai, ekspresi menegangkan kami perlihatkan untuk mencegah perilaku zahir itu. Dan “dorrrr” begitu zahir tiba-tiba  memegang punggung kyai yang sedang merunduk mengambil air yang keluar dari kran. dan sambil tertawa sumringah iapun berkata tanpa sopan “haha, kyai kaget ya ?!!” kyai yang kaget bersamaan ketegangan kamipun menoleh kebelakang “masya Allah Swt, eee, bocah mbarik, kamu tho?, wis wudlu durung? Hum? Udah wudlu belum?” sambil melanjutkan basuhan kakinya yang sempat tertunda kyaipun kembali tenang setelah sempat begitu kagetnya .
Dan melihat kejadian ini perasaan kamipun campur aduk tak karuan, dikiranya kyai akan mencibir perbuatan zahir anak kota itu, ternyata kami salah, dan kamipun melihat bagaimana kyai akhirnya memantau wudlu zahir sambil bercengkrama dengannya, zahir yang dengan gaya khasnya pun membalasnya, sesekali ia menyirati kyai dengan air wudlunya. “aag, betapa mulianya kyai ini” gumam kami selanjutnya.
Berbarengan perjalanan kami menuju warung mbok darsih ternyata kang Samsul dengan komplotannya yang diam-diam kontra dan membenci sikap zahir ternyata masih bercengkrama dan kelihatannya sedang membahasa anak kota itu. “pye rek? Anak kota iki kog wis ora neko-neko neh?” sambil memegang rokok yang berada di tangannya ia lanjut mengoceh “iki lho fotone, aku bar mlebu nuk kamare, roh ndekne dewean njur tak foto” .”up load ae sul, nuk fb” timpal Ambar yang juga sengit dengan zahir “nuk perlu tandai kabeh santri pondok kene kabeh”, kang Aziz yang masih satu gengpun ikut menyumbang ide “sicok neh” meletakan rokoknya ke asbak lalu merebut hp yang ada foto zahir anak kota yang bernasib malang “wenehi keterangan: anak kota yang terlantar, hahaha” tukas kang Aziz. Dan tawapun pecah begitu serunya.
Kami yang sampai di warung mbok Darsihpun segera mencari tempat, sedangkan kang Arifin asyik memesan makanan untuk kami. akhirnya kami temui kang Azam yang sedang menyendiri dan hanya itu tempat yang tersisa, iya disamping atau berdampingan dengan kang Azam, mahasiswa universitas di kota ini.
“kang” Baidlowi menyapanya, “aku lungguh kene yo” tanpa jawaban pasti kamipun duduk berputar membentuk lingkaran kecil. “pye iki?, zahirr, sing anak kota iku lho, durung mari ngasek iki, iseh nyungseppppp ae nuk kamar, menenggg. Cek khawatir kita-kita iki lho kang sebagai koncone”. Kang Azam yang terkenal dengan wawasannya yang luas lintas disiplin ilmu itupun sedikit berkomentar “yo ngono lah wong kota, sistem pengajaren dwe mestine karo kene. Ono anggepan guru iku konco, dadi yo guru iku iso dinggo dolanan bareng, sinau bareng, dan sebagainya” termangu begitu termangu saya mendengarnya, iapun melanjutkan penjelasannya “dadi ora usah kaget yen ndek wingi-wingi ndekne (zahir) ngaget-ngageti kyai pas wudlu, marai kyai iku dianggep konco” sesekali kang Azampun mngangkat rokoknya untuk dihisap “saiki yen ono kejadian ndekne berubah, kita khusnudzon ae, mungkin iki titik kanggo adaptasine ndekne karo budaya pesantren, ngkow sue-sue yo mari dwe, tenaggo!! Tenanggo!!”
Sambil menunggu arifin yang memesan makanan, datanglah fauzan yang langsung menghadap saya “kang, sampean ditimbali kyai” tanpa menunggu lama sayapun bergegas menuju ndalem, akantetapi niat itu saya urungkan mendengar kang Ahmad yang sambil memegang hpnya dan membuka fb berkata “rene lho rek, deloko iki kelakuane samsul, ngap load fotone konco dewe sing iseh sedih, zahir” sambil melimperlihatkan kepada kang Azam, fauzan, baidlowi sayapun ikut melihatnya. Dan betapa ibanya kami melihat foto teman sekamar kami zahir dipajang di fb dengan keterangan “anak kota sing terlantar” ag, dimana sikap dewasanya mereka. Bukan menenangkan malah membuat onar seperti ini.
Setelah saya selesai melihat foto tersebut, lalu bergegaslah saya menemui kyai, sepanjang perjalanaan  ke ndalme saya berfikir, “apakah kyai menanyakan zahir?” Karena memang saya adalah salah satu orang yang dianggap paling dekat dengan anak kota itu juga dekat dengan kyai, “Ataukah ini ada hubungannya dengan foto tadi?” .”ag, entahlah”
Dikejauhan Nampak Arifin, dkk sedang menuju pondok, sayapun mulai berfikiran, apakah mereka mau menemui samsul? Menindak tindakan samsul yang arrogant itu?, kenapa jadi ruwet dan panas begini. Masya Allah
Sesampainya di ndalem saya langsung didawuhi kyai “le, tolong ungdangke samsul!” tanpa banyak komentar sayapun menjawab titah beliau “nggeh kyai” seraya bergegas kekamar samsul, kamar sebelah saya.”iya kan, benar, ini pasti ada kaitannya dengan zahir, dan perilaku samsul” karena bagaimanapun, meskipun zahir dianggap kurang sopan, kyai terlihat senang dengan kedatanggannya disini, menurut pandangan kami, kyai selama ini agak bosan dengan perilaku para santri, setidaknya sikap zahir yang terbuka, riang, dan mengakrabi kytai layaknya temannya membut kyai terhibur, sering beliau menghabiskan waktunya bersama zahir sekedar bercanda, dan sesekali mereka berdua terlibat dalam diskusi masalah agama. Jadi tak menjadi barang yang berlebihan jika saya menganggap zahir itu santri kesayanagan kyai. Ia bagaikan seno dalam pewayangan yang tidak memiliki sopan santun pada raja, yang tak berbahasa kromo pada raja, akan tetapi sang raja tenyata kebingungan saat seno tak berkelakuan seperti itu, raja rindu nakalnya seno. Dan dengan ini kyai menindak tegas orang yang membuat zahir berubah sikap
Sesampainya dikamar, betapa kagetnya kami melihat gaduhnya kamar Samsul ini, “ternyata dugaan saya tadi benar, arifin, dkk mau menghakimi Samsul” kata hati saya dengan bringas. Tanpa mengambil izin dan permisi saya langsung menghadap samsul “sul!, koen ditimbali kyai” dengan nada kasar saya berbicara dengannya, “ono opo?, ten pundi kyai? Ndalem?” begitu ungkap samsul dengan nada takut. dan keadaan yang semula gaduh berubah menjadi hening.”wis tho sul! Ora usah sok ora ngerti, koen iku ameh didukani kyai, gara-gara lakumu ngap load foto!” arifin yang geram menjawab pertanyaan yang sebenarnya disodorkan kepada saya. Dan akhirnya saya dan Samsulpun menuju ndalem menemui kyai.
Sesampainya di ndalem betapa terkejutnya kami berdua, ternyata disitu sudah ada Zahir yang termangu dan tunduk berdiam diri diatas kursi. “samsul! Iki perilakumu? Ngap load fotone wong sembarangan, nggawe isine wong, ngrendahno derajate wong neng ngarepe wong akeh?!!” kyai yang diam-diam memantau muridnya difb berkata dengan kesal dan meletakan hp beliau diatas meja dengn kencang. Suasana diam diantara kami berempatpun berlanjut tatkala samsul yang hanya diam tidak mau menjawab pertanyaan yang dilontarkan kyai.
Dan akhirnya “tidak kyai, saya berubah sikap dengan saya yang dahulu bukan karena perbuatankang samsul yang mengap pload foto saya” dengan nada yang tenag zahirpun berkata. “terus kenapa cah mbarek?” kyaipun gentian bertanya. “ya sudah, samsul, kamu kembali kekamar, biar saya yang ngobrol dengan zahir” begitu timpal kyai.
Saya yang merasa tidak memilki peranpun binggumng mau berbuat apa, akhirnya saya putuskan untuk tetap disitu setia menjadi pendengar sekaligus pemirsa drama yang begitu dahsyat ini. “begini kyai” celoteh zahir “selama ini saya berdiskusi dengan kyai masalah agama, terkadang saya sampai pada kesimpulan bahwa pasti ada hikmah dibelakang hukum-hukum islam” melihat pak kyai yang tertegun, sayapun ikut khusyuk mendengarkan zahir berbicara setelah dua hari tak berbicara “seperti sholat yang diwajibkan dan ternyata ada penelitian yang menemuka bahwa shalat itu menyehatkan, lalu ada lagi arak yang diharamkan yang ternyata arak itu banyak merugikan bagi kesehatan, dsb” sambil tertatih-tatih zahir kembali berucap “kemarin saya menemukan beberapa halaman di internet yang itu berupa hasil penelitian yang mana itu sangat bertentangan dengan hukum Islam, seperti rokok yang diperbolehkan dan ternyata ada bahaya rokok yang sangat banyak” dengan air mata yang bercucuran ia melanjutkan pembicaraan “setelah saya berfikir lebih dalam banyak juga hukum Islam yang tidak dilaksanakan didalam Negara kita, ada hukum memotong tangan bagi pencuri, membunuh orang yang berzina, dll. Apakah ini berarti hukum Islam itu tidak sesuai dengan manusia saat ini? Apakah Islam tidak manusiawi?” pungkasnya dengan menundukan kepala diatas meja.
Mendengar rentetan pertanyaan itu, kyaipun tersenyum dan sejenak berfikir, mulai dari mana menjawab pertanyaan murid kesayangan beliau itu. Bersampingan dengan itu, sunyi senyap menghampiri ruangan kami. “jadi begini cah bagus,” begitu kyai memuji murid kesayangannya “agama itu sam’an wa tho atan, artinya saat ada perintah yang ada didalam agama, perintah shalat, zakat, dilarang minum minuman keras, kita ya sam’an gitu aja, dengarkan saja perintah itu, fahami dengan baik” mendengar titah kyai zahirpun mengeladahkan kepalanya “setelah faham langsunglah kita tho’atan, nurut apa yang didawuhkan agama, tanpa harus takalaman atau berbicara untuk apa kita sholat? Untuk menyehatkan badankah? Atau apakah?, akan tetapi memang agama itu rahmat bagi seluruh alam, jadi pasti ada tujuan tertentu untuk melaksanakan kegiatan beragama, kalau toh ada kegiatan yang belum diketahui hikmahnya maka ya memang ilmu kita saja yang belum cukup untuk mengetahuinya” sambil mengangkat gelas dan menyruput kopi yang berada didepan kyai beliau menambahkan “dadi cah bagus, mumpung masih muda, belajarlah ilmu yang banyak, biar kau tahu rahasia-rahasia yang ada dalam agamamu karena agamamu diturunkan supaya manusia bisa hidup didunia dengan bahagia, bukan malah agama menjadikan hidupmu gersang” tukas kyai penuh ma’na.
Saya yang agak bingung tentang dawuh kyai ini dan mencoba mengangan-anganpun jadi tambah bingung melihat zahir yang senyumnya lahir dan memecah kerinduan kyai terhadap senyuman tersebut.

Pati, 3 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar