Rabu, 26 Agustus 2015

KANG AHMAD DENGAN TAKDIRNYA


Saat itu tepat pada tanggal 27 agustus dimana musim kemarau melanda semua daerah di negara Indonesia. Seperti biasanya, saat adzan subuh berkumandang mak para santri di pondok pesantren kami  bangun dari tidurnya, ada juga yang terbangun, adapula yang terbangunkan, bahkan satu diantara kami ada yang bangun membangun akan tetapi tertidur kembali, entah! Dinginnya suhu yang menyelimuti udara begitu menggigil bagi para santri, namun terlepas dari semua itu ada saja santri khos yang sudah bangun sebelum adzan berkumandang untuk melakukan qiyamul lail lengkap dengan dzikirnya hingga sholat subuh berjamaah.

Lumrahnya dipondok pesantren, maka setelah usai berjamaah shalat subuh kami bergegas untuk mengikuti kajian kitab kuning yang langsung dipimpin atau dibacakan oleh kyai kami. Ada kalanya kyai tidak langsung memulai pengajian ba’da subuh, akan tetapi beliau masuk kedalam ndalem –kami menyebutkan rumah kyai- sekedar mengambil sesuatu atau yang lain seperti halnya yang terjadi pada hari ini.

Salah satu ciri khas majelis pengajian yang ada dipondok kami ialah para santri berkumpul dan bersiap-siap di area majelis diawal waktu sedangkan kyai rawuh belakangan. Ada saja aktifitas para santri untuk mengisi waktu senggang menunggu kyai ini. Ada yang menambah tidurnya yang belum puas seperti yang dilakukan kang Salam dan kang Baidlowi, atau kang aziz ini yang membaca dan meraba-raba isi kajian yang akan dikaji hari ini, adapula yang memilih diam dan asyik menulis kata mutiara disecarik kertas seperti gus Anam yang jauh-jauh nyantri dari negrri sebrang. Dan lain sebagainya.

Ditengah kesibukan masing-masing santri maka adapula yang secara tidak sengaja membuat majelis sendiri. Topik yang mereka pilih mengalir bagaikan sungai yang sempat macet saat kemarau seperti ini. “umsum pohon kopi berbunga rek, makane uatise ngene, brrrr” celetuk kang salim memulai pembicaraan yang mana ia mewariskan kemistisan neneknya, mbah salamah. Kang A’an yang sedari tadi gemeteran disertai sibuk membungkuskan telapak kakinya menggunakan sarung dengan tangan yang disedakepkanpun mencibir ramalan mistis itu “ah, mana ada pohon kopi dikampung ini?, kalaupun ada itu dikampung sebelah, dan mukhal efeknya sampai sini”. Tanpa diberi kesempatan untuk bicara murid madrasah Aliyah kelas 12 IPA1, kang fauzan yang baru datang dan melekatakan damparpun ikut menyumbang omongan “gini lho, ini kan musim kemarau”, sambil membenahi jaket yang ia kenakan supaya udara dingi tidak menyeruak kepori-pori tubuh lewat kulit arinya ia melanjutkan pembicaraan “ maka posisi matahari itu lebih jauh daripada saat musim penghujan, itu sebabnya mengapa disaat musim kemarau seperti ini kog dinginn banget, akan tetapi ketika hujan hendak turun suhu meninggi dan terasa gerah”, hawa dinginpun semakin dingin ketika kang Ahmad yang terkenal santri radikal, dan selalu mengungkapkan pendapat dengan kritis tetapi terkadang tak logis ingin berbicara dan terlihat pembicaraannya bernada tenggi serta meruntuhkan pendapat yang sebelumnya, “emmmm” sambil membusungkan dada ia terlihat begitu percaya, “kabeh ora masuk akal!!!…” baru sekecap ia berkata semua santri langsung antusias mendengarkan, sambil mengarahkan pandangan terhadap kang Ahmad mereka menunggu kelanjutan ucapannya. Namun tak lama berselang maka datanglah kyai, dengan wibawanya beliau langsung menempatkan diri didepan para santri dan memecahkan semua hirukpikuk majelis kecil dan mampu membuat santri lain tunduk dan termangu penuh konsentrasi tanda siap untuk mengikuti pengajian.” Al fatihah”…begitu kyai mengawali setiap pengajiannya.

Pengajianpun langsung dimulainya, dan tak ada tingkah kecuali suasana damai, tenang dan suara dalam kyai yang memecah heningnya dipagi itu. Saat itu kami sedang mengkaji tentang qodlo’ dan qodar atau takdir yang merupakan salah satu dari rukun iman yang berjumlah 6.

Begitu selesai pengajian, maka tidak ada satu santripun yang berani meninggalkan majelis sebelum kyai meninggalkan majelis tersebut terlebih dahulu. Kang Ahmad yang dari tadi tersipu malu oleh kewibawaan kyaipun hingga terpaksa tidak melanjutkan omongannya akhirnya menceloteh seakan mengungkapkan gagasan yang tadi gagal dilontarkannya “atis, anget, matahari cedak tah aduh, iku ora opo-opo, sing ndadekake atise isuk iki iku yo anci wis teqdere gusti pangeran”, dengan kata-kata yang begitu tenang akibat terpengaruh ketenangan yang ada dipengajian yang dipimpin kyai lalu diikuti kang Ahmad ini rupanya mampu menggelitik seluruh santri yang ada, begitu ucapan itu terlontar maka tak ada satupun santri yang berani mengungguli pendapat kang Ahmad ini. Santri menganggukan kepala dan satu persatu meninggalkan majelis.

Disiang harinya para santri kerja bakti membersihkan seluruh area pesanteren Karena pada hari itu bertepatan hari libur untuk masuk madrasah, begitu pula yang dilakukan oleh kang Ahmad. Pagi atau tepatnya difajar yang begiutu dingin ternyata dibalikan oleh udara siang hari yang begitu panas hingga kulit yang putihpun berubah kemerah-merahan oleh sengatan cahaya sang surya.

Dan akhirnya tibalah saat untuk istirahat diamana semuanya telah kelar dikerjakan. Seluruh santri berpindah aktifitas, sebagian ada yang mandi, mencuci pakaian yang menumpuk bak uang yang ada dikantor perpajakan, adapula yang berkumpul menikmati es yang dibelinya dari warung mbok darsih.

Lain halnya dengan santri yang lain, kang Ahmad malah hendak mengambil kelapa muda milik kyai. Dengan menyingkep sarungnya dan menjadi sorotan banyak santri, kang Ahnad tetap melanjutkan misinya mengambil kelapa muda kyai yang berada di samping ndalem. “medunn mad, koen durung izin kyai, iso2 kualat koen ” teriak kang salam tepat dibawah pohon itu. Sambil menghirup nafas dan senyum sumringah kang Ahmad menjawab “pye tah? Pye?” sambil menghadap kebawah ia mengoceh “tenanggo, ngkow tak bagehi sampeyan” nadanya yang aga kengapak-ngapakan menggemparkan keheran para santri. Ada yang bergumam dalam hati “edan Ahmad iki”, ada pula yang penasaran hujah atau dasr apa Ahmad kali ini melakukan hal segila itu.

Baru separuh dari pohon yang kang ahmad berhasil panjat, keluarlah kyai dengan rona yang begitu menyegarkan. Para santri yang melihat beliapun langsung minggir dan berpergian karena ewuh berkat kekarismatikan sang kyai, meskipun adapula sebagian yang melihat dari kejauhan atau bahkan mengintip dengan penuh rasa penasaran apa yang akan dilakukan oleh kyai kepada Ahmad.
Ahmad yang melihat respon positif kyaipun melanjutkan panjatannya ia merasa ia telah mengamalkan ilmu yang baru tadi fajar ia pelajari dari kyai, bahwa semua yang terjadi ini ya kehendak Allah Swt, takdir dari Ia, jadi kita hanya bisa menerimanya. Ditengah-tengah gumamannya kang Ahmadpun berkata kepada kyai “yai, niki niku minongko takdiripun gusti Allah Swt, kulo ditakdiraken mundut degane panjenengan detik niki” serentak melihat dan mendengar jawaban murid yang satu ini kyai langsung berubah ekspresi, semua eritrosit atau darah merah kyai seakan berada diwajah beliau dan ini menunjukan bahwa seakan beliau sedang marah besar, “kyai duko?” dengan lembut kang ahmad bertanya “kyai mboten ngiman kaleh takdir kulo bileh mundut degan njenengan detik niki?”. Dengan tangannya yang begitu lembut kyai mengambil 2 batu sebesar segenggam tangan yang berada dibawah pohon dan seakan hendak melemparnya kearah kang Ahmad, namun, gubrakkk dengan merintih-rintih minta ma’af seraya menyebut-nyebut nama pangeran kang ahmad terjatuh karena ketakutan “ngapunten yai, ya Allah Swt gusti, ngapunten, kulo Cuma pingin setunggal, tapi sakniki mpun mboten”. Dengan penuh bijaksana kyai berdawuh “takdir iku babagan keimanan le, iman iku panggonane neng ati, ora neng cangkem, dadi ojo sekali-kali siro nglahirake neng lisanmu” dengan merintih kesakitan kang Ahmat masih saja sayup-sayup meminta ma’af, “nggih yai, ngapunten, estu ngapunten” lalu tanpa banyak bicara kyaipun meninggalkan kang Ahmad.

Melihat temannya yang awalnya angkuh lalu terjatuh dan tak berdaya, para santripun berlarian mendekati kang Ahmad dengan tertawa terpingkal-pingkal. Diantara mereka datanglah kang Baidlowi, seorang santri yang ngefans berat dengan budayawan Sujiwo Tejo seorang presiden dari Republik Djancukres menghampiri kang Ahmad sambil memegang perutnya karena kesakitan tertawa beratpun berkata “mad mad, iki lagi takdirmu dino iki, luru klopo entuk molo, jan djancuk tenan koen”. Kang ahmad yang mendengar celotehan kang Baidlowipun ikut tertawa asal tertawa, dan suasana yang asalnya hening berubah menjadi canda tawa yang penuh dengan kegembiraan.


Pati, 26 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar