Saat itu tepat pada tanggal 27 agustus dimana musim kemarau melanda
semua daerah di negara Indonesia. Seperti biasanya, saat adzan subuh
berkumandang mak para santri di pondok pesantren kami bangun dari tidurnya, ada juga yang terbangun,
adapula yang terbangunkan, bahkan satu diantara kami ada yang bangun membangun
akan tetapi tertidur kembali, entah! Dinginnya suhu yang menyelimuti udara
begitu menggigil bagi para santri, namun terlepas dari semua itu ada saja
santri khos yang sudah bangun sebelum adzan berkumandang untuk melakukan
qiyamul lail lengkap dengan dzikirnya hingga sholat subuh berjamaah.
Lumrahnya dipondok pesantren, maka setelah usai berjamaah shalat
subuh kami bergegas untuk mengikuti kajian kitab kuning yang langsung dipimpin
atau dibacakan oleh kyai kami. Ada kalanya kyai tidak langsung memulai pengajian
ba’da subuh, akan tetapi beliau masuk kedalam ndalem –kami menyebutkan rumah
kyai- sekedar mengambil sesuatu atau yang lain seperti halnya yang terjadi pada
hari ini.
Salah satu ciri khas majelis pengajian yang ada dipondok kami ialah
para santri berkumpul dan bersiap-siap di area majelis diawal waktu sedangkan
kyai rawuh belakangan. Ada saja aktifitas para santri untuk mengisi waktu
senggang menunggu kyai ini. Ada yang menambah tidurnya yang belum puas seperti
yang dilakukan kang Salam dan kang Baidlowi, atau kang aziz ini yang membaca
dan meraba-raba isi kajian yang akan dikaji hari ini, adapula yang memilih diam
dan asyik menulis kata mutiara disecarik kertas seperti gus Anam yang jauh-jauh
nyantri dari negrri sebrang. Dan lain sebagainya.
Ditengah kesibukan masing-masing santri maka adapula yang secara
tidak sengaja membuat majelis sendiri. Topik yang mereka pilih mengalir
bagaikan sungai yang sempat macet saat kemarau seperti ini. “umsum pohon kopi
berbunga rek, makane uatise ngene, brrrr” celetuk kang salim memulai
pembicaraan yang mana ia mewariskan kemistisan neneknya, mbah salamah. Kang
A’an yang sedari tadi gemeteran disertai sibuk membungkuskan telapak kakinya
menggunakan sarung dengan tangan yang disedakepkanpun mencibir ramalan mistis
itu “ah, mana ada pohon kopi dikampung ini?, kalaupun ada itu dikampung
sebelah, dan mukhal efeknya sampai sini”. Tanpa diberi kesempatan untuk
bicara murid madrasah Aliyah kelas 12 IPA1, kang fauzan yang baru datang dan
melekatakan damparpun ikut menyumbang omongan “gini lho, ini kan musim kemarau”,
sambil membenahi jaket yang ia kenakan supaya udara dingi tidak menyeruak
kepori-pori tubuh lewat kulit arinya ia melanjutkan pembicaraan “ maka posisi
matahari itu lebih jauh daripada saat musim penghujan, itu sebabnya mengapa disaat
musim kemarau seperti ini kog dinginn banget, akan tetapi ketika hujan hendak
turun suhu meninggi dan terasa gerah”, hawa dinginpun semakin dingin ketika
kang Ahmad yang terkenal santri radikal, dan selalu mengungkapkan pendapat
dengan kritis tetapi terkadang tak logis ingin berbicara dan terlihat
pembicaraannya bernada tenggi serta meruntuhkan pendapat yang sebelumnya, “emmmm”
sambil membusungkan dada ia terlihat begitu percaya, “kabeh ora masuk akal!!!…”
baru sekecap ia berkata semua santri langsung antusias mendengarkan, sambil
mengarahkan pandangan terhadap kang Ahmad mereka menunggu kelanjutan ucapannya.
Namun tak lama berselang maka datanglah kyai, dengan wibawanya beliau langsung
menempatkan diri didepan para santri dan memecahkan semua hirukpikuk majelis
kecil dan mampu membuat santri lain tunduk dan termangu penuh konsentrasi tanda
siap untuk mengikuti pengajian.” Al fatihah”…begitu kyai mengawali setiap
pengajiannya.
Pengajianpun langsung dimulainya, dan tak ada tingkah kecuali suasana
damai, tenang dan suara dalam kyai yang memecah heningnya dipagi itu. Saat itu
kami sedang mengkaji tentang qodlo’ dan qodar atau takdir yang
merupakan salah satu dari rukun iman yang berjumlah 6.
Begitu selesai pengajian, maka tidak ada satu santripun yang berani
meninggalkan majelis sebelum kyai meninggalkan majelis tersebut terlebih
dahulu. Kang Ahmad yang dari tadi tersipu malu oleh kewibawaan kyaipun hingga
terpaksa tidak melanjutkan omongannya akhirnya menceloteh seakan mengungkapkan
gagasan yang tadi gagal dilontarkannya “atis, anget, matahari cedak tah aduh,
iku ora opo-opo, sing ndadekake atise isuk iki iku yo anci wis teqdere gusti
pangeran”, dengan kata-kata yang begitu tenang akibat terpengaruh ketenangan
yang ada dipengajian yang dipimpin kyai lalu diikuti kang Ahmad ini rupanya
mampu menggelitik seluruh santri yang ada, begitu ucapan itu terlontar maka tak
ada satupun santri yang berani mengungguli pendapat kang Ahmad ini. Santri menganggukan
kepala dan satu persatu meninggalkan majelis.
Disiang harinya para santri kerja bakti membersihkan seluruh area
pesanteren Karena pada hari itu bertepatan hari libur untuk masuk madrasah,
begitu pula yang dilakukan oleh kang Ahmad. Pagi atau tepatnya difajar yang
begiutu dingin ternyata dibalikan oleh udara siang hari yang begitu panas
hingga kulit yang putihpun berubah kemerah-merahan oleh sengatan cahaya sang
surya.
Dan akhirnya tibalah saat untuk istirahat diamana semuanya telah
kelar dikerjakan. Seluruh santri berpindah aktifitas, sebagian ada yang mandi,
mencuci pakaian yang menumpuk bak uang yang ada dikantor perpajakan, adapula
yang berkumpul menikmati es yang dibelinya dari warung mbok darsih.
Lain halnya dengan santri yang lain, kang Ahmad malah hendak
mengambil kelapa muda milik kyai. Dengan menyingkep sarungnya dan menjadi
sorotan banyak santri, kang Ahnad tetap melanjutkan misinya mengambil kelapa
muda kyai yang berada di samping ndalem. “medunn mad, koen durung izin kyai,
iso2 kualat koen ” teriak kang salam tepat dibawah pohon itu. Sambil menghirup
nafas dan senyum sumringah kang Ahmad menjawab “pye tah? Pye?” sambil menghadap
kebawah ia mengoceh “tenanggo, ngkow tak bagehi sampeyan” nadanya yang aga
kengapak-ngapakan menggemparkan keheran para santri. Ada yang bergumam dalam
hati “edan Ahmad iki”, ada pula yang penasaran hujah atau dasr apa Ahmad kali
ini melakukan hal segila itu.
Baru separuh dari pohon yang kang ahmad berhasil panjat, keluarlah
kyai dengan rona yang begitu menyegarkan. Para santri yang melihat beliapun
langsung minggir dan berpergian karena ewuh berkat kekarismatikan sang
kyai, meskipun adapula sebagian yang melihat dari kejauhan atau bahkan
mengintip dengan penuh rasa penasaran apa yang akan dilakukan oleh kyai kepada
Ahmad.
Ahmad
yang melihat respon positif kyaipun melanjutkan panjatannya ia merasa ia telah
mengamalkan ilmu yang baru tadi fajar ia pelajari dari kyai, bahwa semua yang
terjadi ini ya kehendak Allah Swt, takdir dari Ia, jadi kita hanya bisa
menerimanya. Ditengah-tengah gumamannya kang Ahmadpun berkata kepada kyai “yai,
niki niku minongko takdiripun gusti Allah Swt, kulo ditakdiraken mundut degane
panjenengan detik niki” serentak melihat dan mendengar jawaban murid yang satu
ini kyai langsung berubah ekspresi, semua eritrosit atau darah merah kyai
seakan berada diwajah beliau dan ini menunjukan bahwa seakan beliau sedang
marah besar, “kyai duko?” dengan lembut kang ahmad bertanya “kyai mboten ngiman
kaleh takdir kulo bileh mundut degan njenengan detik niki?”. Dengan tangannya
yang begitu lembut kyai mengambil 2 batu sebesar segenggam tangan yang berada
dibawah pohon dan seakan hendak melemparnya kearah kang Ahmad, namun, gubrakkk
dengan merintih-rintih minta ma’af seraya menyebut-nyebut nama pangeran kang
ahmad terjatuh karena ketakutan “ngapunten yai, ya Allah Swt gusti, ngapunten,
kulo Cuma pingin setunggal, tapi sakniki mpun mboten”. Dengan penuh bijaksana
kyai berdawuh “takdir iku babagan keimanan le, iman iku panggonane neng ati,
ora neng cangkem, dadi ojo sekali-kali siro nglahirake neng lisanmu” dengan
merintih kesakitan kang Ahmat masih saja sayup-sayup meminta ma’af, “nggih yai,
ngapunten, estu ngapunten” lalu tanpa banyak bicara kyaipun meninggalkan kang
Ahmad.
Melihat temannya yang awalnya angkuh lalu terjatuh dan tak berdaya,
para santripun berlarian mendekati kang Ahmad dengan tertawa
terpingkal-pingkal. Diantara mereka datanglah kang Baidlowi, seorang santri
yang ngefans berat dengan budayawan Sujiwo Tejo seorang presiden dari Republik
Djancukres menghampiri kang Ahmad sambil memegang perutnya karena kesakitan
tertawa beratpun berkata “mad mad, iki lagi takdirmu dino iki, luru klopo entuk
molo, jan djancuk tenan koen”. Kang ahmad yang mendengar celotehan kang
Baidlowipun ikut tertawa asal tertawa, dan suasana yang asalnya hening berubah
menjadi canda tawa yang penuh dengan kegembiraan.
Pati,
26 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar